Kamis, 19 Mei 2011

Sekolah Berstandar Internasional: Beberapa Tinjauan

Setiono Sugiharto
Terdapat indikasi yang kuat bahwa dalam waktu dekat Menteri Pendidikan Nasional akan mendukung sepenuhnya Rintisan Sekolah Berstandar Internasional yang saat ini beroperasi seperti Sekolah Berstandar Internasional yang telah ada terlebih dahulu.
Meskipun ada keberatan dari masyarakat atas kebijakan ini, Menteri Pendidikan sepertinya bersikukuh akan mengizinkan sekolah-sekolah ini beroperasi.
Beberapa ahli pendidikan telah memperingatkan kita dengan kenyataan bahwa berjalannya sekolah-sekolah dengan label internasional tidak hanya menghancurkan semangat pendidikan nasional, tetapi lebih jauh memperlebar jurang antara Si Kaya dan Si Miskin. Peringatan mereka semestinya jangan dipandang sebagai sesuatu yang berlebihan, mengingat politik pendidikan nasional kita kelihatannya kehilangan arah.
Tersapu oleh arus globalisasi, pendidikan nasional kita dipaksa untuk bergerak ke arah yang ekstrim dengan menunduk kepada diskursus tentang moderenitas sampai dengan tercabutnya jatidiri nasional kita.
Di bawah diskursus tentang moderenitas, negara-negara kuat selalu menggunakan pengaruh yang besar dalam membentuk persespsi tentang apa yang menjadi kenyataan, yang dimanifestasikan dalam bentuk yang kasat mata, salah satunya adalah penggunaan bahasa.
Contohnya adalah kenyataan saat ini dimana kita merayakan keranjingan penggunaan bahasa Inggris atau, meminjam istilah ahli bahasa Amerika Stephen Krashen, “Demam Inggris” di dalam lansekap pendidikan kita.
Ada kecenderungan yang berkembang diantara kelas elit dan masyarakat luas untuk memakai segala sesuatu yang berbau internasional sebagai obat mujarab bagi masalah sistem pendidikan kita yang bermasalah, yang telah lama dirusak oleh ketidakpastian yang tak berakhir dan perdebatan yang kontraproduktif.
Sementara itu tidak diragukan lagi bahwa sebagai Negara yang sedang mengejar moderenitas kita harus progresif dalam rangka meningkatkan system pendidikan kita, kita tidak boleh menjadi katak dalam tempurung dan kehilangan arah di dunia global ini.
Sebuah kalimat bijaksana dari ahli pendidikan terkemuka Indonesia Mochtar Buchori menjadi relevan di sini. Pada suatu saat beliau menyatakan bahwa progresivisme diperlukan untuk melengkapi konservatisme, tapi progresivisme yang membabi buta dapat mengarah pada disorientasi.
Menjamurnya sekolah-sekolah local – baik yang dibiaya pemerintah maupun swasta – yang mengklaim menggunakan kurikulum internasional dapat menjadi indikasi bahwa mereka telah melangkah jauh dari konservatisme ke progresivisme tanpa sadar dimana kita dan visi pendidikan apa yang kita adopsi.
Pengetahuan kelas elit kita dan masyarakat tentang RSBI dan SBI, sepertinya dikarenakan kurangnya visi yang jelas, terbatas pada penggunaan bahasa Inggris sebagai media instruksi di kelas, penggunaan peralatan teknologi yang canggih untuk menunjang pembelajaran, fasilitas modern, dan adopsi kurikulum serta intstrumen penilaian dari negara maju. Dalam artian untuk memfasilitasi dan mempercepat proses kegiatan belajar-mengajar, kita tentu saja memerlukan hal-hal tersebut.
Meski demikian, apa yang gagal kita pahami adalah bahwa beberapa faktor pendukung tersebut adalah produk determinasi kultural – yang mungkin secara ekologis tidak cocok dengan lingkungan kita – daripada produk hasil ciptaan kita sendiri. Pendidikan secara umum dan sekolah secara khusus tidak boleh berada di dalam kehampaan social, karena keberadaan mereka membentuk dan dibentuk oleh masyarakat dimana mereka berada. Sebagai penyeimbang kemungkinan pengaruh negatif sekolah berlabel internasional yang berjalan di lingkungan local, kita perlu menempatkan sekolah-sekolah ini dalam lingkungan sosial yang lebih luas, yang membantu menyediakan kerangka kerja yang bermanfaat dimana berbagai praktek pendidikan dapat dinilai.

Sumber: The Jakarta Post

Tidak ada komentar: