Senin, 04 April 2011

Ga Ada Judul

Melalui kaca jendela ku pandangi awan putih yang berarak dengan tergesa-gesa. Kumulus, nimbus, stratus... semuanya seakan berkejaran, berlomba untuk sampai di satu titik. Dibelakangnya langit biru membisu, seakan-akan tak peduli dengan tingkah mereka. Mentari bersinar cerah, memancarkan kehangatan di pagi ini. Sementara itu angin bertiup lembut, membelai daun-daun palem yang menjulur dengan malas.

Sudah hampir dua tahun berlalu semenjak kejadian itu. Banyak hal yang sudah kulewati. Pahit dan getir kutelan sendiri. Ah, ternyata hidup tak seindah yang kubayangkan. Bahkan aku tak punya keberanian walau hanya sekedar menatap masa depan.

Sekarang, dengan tanganku yang rapuh, aku berusaha menggenggam milikku yang paling berharga agar tak tersapu derasnya arus yang menghantam tubuhku. Kadang aku limbung dihantam potongan kayu dan serpihan batu. Seringkali tubuhku menggigil manakali badai itu kembali menghampiri.

Kadang terlintas dibenakku untuk menyerah, melepaskan semuanya dan membiarkan diri mengikuti kemana arus ini pergi. Tapi cinta yang kugenggam selalu mencegahnya. Dia yang selalu membuatku yakin bahwa harapan itu ada. Dan kembali aku berdiri menahan derasnya arus kehidupan. Saat ini aku hanya mampu bertahan.

Jika seandainya nanti tanganku sudah renta, lututku sudah goyah dan semuanya terlepas dari genggaman, aku tidak akan menangisinya dengan kepedihan. Aku akan menangisinya dengan penuh syukur. Bersyukur atas kesempatan yang telah diberikan-Nya untuk menggenggam kalian. Aku akan menikmati setiap perjumpaan ini untuk mempersiapkan datangnya masa itu.