Senin, 23 Mei 2011

Kapal Perang Laksamana Panteleyev Mengunjungi Singapura dan Indonesia

Armada Penghancur Pasifik Rusia Laksamana Panteleyev akan mengunjungi Singapura dan Indonesia pada tanggal 16-27 Mei untuk ambil bagian dalam IMDEX-2011 pameran angkatan laut dan melakukan latihan bersama dengan angkatan laut Indonesia.

Pameran Pertahanan Laut Internasional (IMDEX) dua tahunan dilaksanakan pada tanggal 17-19 Mei 2011.

“Kapal perang Rusia ambil bagian dalam pameran ini beberapa kali diwaktu lalu,” kata juru bicara armada Capt. 1st Rank Roman Martov. “Contohnya, rudal jelajah Rusia Varyag – kapal laksamana dari Armada Pacific – mengunjungi Singapura dalam kesempatan yang sama 2009”.

Laksamana Pantaleyev, sekelas penghancur Udaloy, akan tinggal di Singapura sampai 20 Mei sebelum berangkat ke Indonesia dimana mereka akan turut serta dalam latihan anti-perompakan bersama angkatan laut Indonesia.

“Selama kunjungan, kapal perang Indonesia dan Rusia akan mengadakan latihan gabungan anti perompakan,” Martov berkata sambil menambahkan bahwa misi simulasi akan melibatkan penyelamatan sebuah kapal tanker yang disandera oleh perombak.

Kapal penghancur Russia akan tinggal di pelabuhan Makassar di timur Indonesia pada tanggal 25-27 Mei 2011.

Admiral Panteleyev ikut serta dalam misi anti pembajakan internasional di pantai Somalia pada tahun 2009.

Kapal perang ini menangkap sebuah perahu mesin yang membawa 29 tersangka pembajak, diyakini terlibat dalam penyerangan yang gagal kru kapal tangker Rusia dengan rute menuju Singapura.

Kapal perusak juga berhasil mencegah penyerangan terhadap sebuah muatan kargo ketika menyertai sebuah konvoi enam kapal dagang.

Fleet = armada
Joint drills = latihan bersama
Cruiser missile = rudal jelajah
Flagship = kapal laksamana

Sumber : naval today

INDONESIA: Menteri Pertahanan Meresmikan KRI Clurit

Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro Senin ini meresmikan KRI Clurit, sebuah kapal dengan panjang 40 meter dibuat di Indonesia yang akan digunakan untuk membantu mengamankan perairan Negara di bagian barat.

“Saya dengan ini meresmikan KRI Clurit,” kata menteri pada sebuah upacara di pelabuhan barang Batam, provinsi Kepulauan Riau.

Menteri mengatakan bahwa KRI Clurit adalah kapal pembawa misil ringan yang dirancang dan dibangun sepenuhnya oleh orang Indonesia di PT Palindo Marine.

“Dengan ini, Indonesia telah memulai untuk memiliki kemampuan menjaga lautnya dengan kapal-kapal buatan sendiri. Kita tidak lagi membutuhkan belas kasihan,” demikian katanya.
Peresmian KRI Cluri0t-40 merupakan jawaban pertanyaan atas tanggung jawab untuk menjaga wilayah perairan Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam.

Beliau mengatakan selat-selat di wilayah perairan Indonesia juga merupakan jalur perdagangan.
“Peristiwa ini adalah tonggak sejarah dalam perjalanan bangsa mempercayai industry pertahanan sendiri,” katanya.

Dia berkata produksi peralatan pertahanan utama tidak akan menghentikan pembuatan KRI Clurit. Dia mengatakan pemerintah akan melanjutkan melengkapi TNI dengan lebih banyak kapal. Dia berkata sebuah kapal selam dan kapal penghancur buatan Indonesia akan menjadi tambahan didalam jajaran peralatan perang marinir.

Yusgiantoro berkata marinir membutuhkan kapal-kapal yang dapat mengamankan wilayah perairan Indonesia yang jauh.

Panglima TNI Laksmana Agus Suhartono sementara itu mengatakan pada sebuah kesempatan bahwa marinir memesan dua KRC-40 dan akan memesan 20 lebih dari tipe yang berbeda.
KRC-40 akan beroperasi di perairan barat Indonesia yang secara geografis ditandai dengan pulau-pulau kecil dan dipisahkan oleh selat-selat.

KRI Clurit diberi nama dari belati orang Madura. Clurit berbentuk seperti sebuah tanda tanya, dipercaya merefleksikan karakter orang Madura yang tidak pernah puas dengan apa yang mereka miliki dan juga keuletan mereka.

(ANTARANews)

Taken from: Naval Today

Jumat, 20 Mei 2011

Pengemudi Perahu dan Petani Memainkan Peran yang Besar Dalam Pendidikan

Indra Harsaputra

Untuk anak-anak dari desa terpencil di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, pengemudi perahu dan petani setempat adalah pahlawan sejati didalam mengejar pendidikan.

Jika sang pengemudi melewatkan satu hari kerja, Julianti, 13 tahun, dan belasan murid-murid SMP 33 yang tinggal di Kampung Benabaru, Kecamatan Sambaliung, benar-benar harus menaiki dan menuruni bukit selama lebih dari satu jam untuk mencapai sekolah.

“Jalur berlumpur ke sekolah sangat licin dan tak ada kendaraan dipagi hari. Kami juga harus berjalan melewati hutan … di sana banyak sekali terdapat monyet liar,” katanya.

Kampung itu terletak 20 km lebih dari Kota Tanjung Redeb, pusat pemerintahan Kabupaten Berau. Kebanyakan penduduk adalah nelayan dengan pendapatan bulanan berkisar antara Rp 500.000,00 dan Rp 1.000.000,00. Sekitar 174 keluarga tinggal di kampong. Kampung itu hanya memiliki satu sekolah dasar, jadi anak-anak harus berjalan jauh untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.

Untuk mencapai Tanjung Redeb, lokasi dimana sekolah itu berada, penduduk harus menaiki perahu untuk menyebrangi Sungai Kelay, yang mengalir dari Laut Sulawesi, dan melanjutkan perjalanan dengan bis umum, yang masing-masingnya hanya mengangkut 15 penumpang.

Hanya ada dua bis umum dan bis-bis itu beroperasi dua kali sehari; jam 8 pagi dan sore hari. Jika penduduk ketinggalan bis, mereka harus membayar Rp 50.000,00 untuk menyewa perahu mengantarkan mereka ke dermaga Tanjung Redeb.

Perahu panjang ini adalah “pangkalan mobil” yang disediakan untuk murid-murid secara gratis oleh Berau Coal, perusahaan terbesar yang beroperasi di Kalimantan Timur.
“Kami beruntung masih dapat pergi sekolah. Kami sangat berterima kasih untuk layanan perahu panjang,” demikian kata Julianti.

Berau Coal juga menyediakan sebuah layanan pangkalan mobil untuk para murid di Desa Tumbit Melayu, Tumbit Dayak, Long Lanuk dan Meraang.
Ahmad Effendi adalah seorang petani yang merubah mobilnya menjadi kendaraan sekolah.
“Ini bukan karena saya mendapatkan uang banyak; Saya mengambil tanggung jawab mengantarkan para murid ke sekolah. Semua masalah sepertinya terbayar saat melihat anak-anak dapat tiba di sekolah dengan selamat dan bahagia”, kata Ahmad.

Rahmawati, 17 tahun, seorang siswi SMK 2 Tanjung Redeb, terpaksa hidup terpisah dari keluarganya supaya dapat sekolah. Dia sekarang tinggal di salah satu dari enam asrama yang dibangun oleh pemerintah Berau dan Berau Coal untuk murid-murid dari daerah terpencil di Kalimantan.

“Terlalu mahal untuk pulang-pergi dari rumah ke sekolah dan biasanya memakan waktu berjam-jam. Sekarang saya pulang ke rumah setiap tiga atau enam bulan,” katanya, menambahkan bahwa dirinya belajar dengan tekun untuk mendapatkan beasiswa dari Berau Coal untuk mewujudkan impiannya mengambil pertanian sebagai subjek utama sehingga dia dapat mengembangkan kampong halamannya.

Berau menunjukkan pencapaian yang baik di dalam dunia pendidikan. Sementara berbagai daerah kesulitan melampaui nilai standar kelulusan, seluruh murid sekolah dasar Berau yang berjumlah 3.025 orang lulus ujian, diikuti dengan 99.15% murid SMP, 95,91% murid SMA dan 91,95% murid SMK.

Di atas itu semua, siswi SMA Riana Pangestu Utami memenangkan hadiah utama pada Olimpiade Astronomi Asia Pasifik yang di adakan di Damyang, Korea Selatan, tahun 2009, sementara itu Hairil Anwar menerima sebuah Piala Penghargaan pada Olimpiade Fisika Internasional di Thailand tahun 2010.

Kepala Dinas Pendidikan Berau, Rohaini, mengatakan pemerintah saat ini sedang mengembangkan program “pendidikan untuk semua” sampai ke daerah yang paling terpencil. “Kami membangun akses jalan ke daerah terpencil agar murid-murid dapat pergi ke sekolah dengan lebih mudah,” katanya.

Ketika lebih banyak jalan dibangun, dan saat lebih banyak kendaraan umum, dan ketika lebih banyak lagi lulusan universitas yang dapat menolong mengembangkan Berau, maka mungkin itulah saatnya bagi truk petani dan perahu panjang untuk beristirahat.

Sumber: The Jakarta Post

Kamis, 19 Mei 2011

Sekolah Berstandar Internasional: Beberapa Tinjauan

Setiono Sugiharto
Terdapat indikasi yang kuat bahwa dalam waktu dekat Menteri Pendidikan Nasional akan mendukung sepenuhnya Rintisan Sekolah Berstandar Internasional yang saat ini beroperasi seperti Sekolah Berstandar Internasional yang telah ada terlebih dahulu.
Meskipun ada keberatan dari masyarakat atas kebijakan ini, Menteri Pendidikan sepertinya bersikukuh akan mengizinkan sekolah-sekolah ini beroperasi.
Beberapa ahli pendidikan telah memperingatkan kita dengan kenyataan bahwa berjalannya sekolah-sekolah dengan label internasional tidak hanya menghancurkan semangat pendidikan nasional, tetapi lebih jauh memperlebar jurang antara Si Kaya dan Si Miskin. Peringatan mereka semestinya jangan dipandang sebagai sesuatu yang berlebihan, mengingat politik pendidikan nasional kita kelihatannya kehilangan arah.
Tersapu oleh arus globalisasi, pendidikan nasional kita dipaksa untuk bergerak ke arah yang ekstrim dengan menunduk kepada diskursus tentang moderenitas sampai dengan tercabutnya jatidiri nasional kita.
Di bawah diskursus tentang moderenitas, negara-negara kuat selalu menggunakan pengaruh yang besar dalam membentuk persespsi tentang apa yang menjadi kenyataan, yang dimanifestasikan dalam bentuk yang kasat mata, salah satunya adalah penggunaan bahasa.
Contohnya adalah kenyataan saat ini dimana kita merayakan keranjingan penggunaan bahasa Inggris atau, meminjam istilah ahli bahasa Amerika Stephen Krashen, “Demam Inggris” di dalam lansekap pendidikan kita.
Ada kecenderungan yang berkembang diantara kelas elit dan masyarakat luas untuk memakai segala sesuatu yang berbau internasional sebagai obat mujarab bagi masalah sistem pendidikan kita yang bermasalah, yang telah lama dirusak oleh ketidakpastian yang tak berakhir dan perdebatan yang kontraproduktif.
Sementara itu tidak diragukan lagi bahwa sebagai Negara yang sedang mengejar moderenitas kita harus progresif dalam rangka meningkatkan system pendidikan kita, kita tidak boleh menjadi katak dalam tempurung dan kehilangan arah di dunia global ini.
Sebuah kalimat bijaksana dari ahli pendidikan terkemuka Indonesia Mochtar Buchori menjadi relevan di sini. Pada suatu saat beliau menyatakan bahwa progresivisme diperlukan untuk melengkapi konservatisme, tapi progresivisme yang membabi buta dapat mengarah pada disorientasi.
Menjamurnya sekolah-sekolah local – baik yang dibiaya pemerintah maupun swasta – yang mengklaim menggunakan kurikulum internasional dapat menjadi indikasi bahwa mereka telah melangkah jauh dari konservatisme ke progresivisme tanpa sadar dimana kita dan visi pendidikan apa yang kita adopsi.
Pengetahuan kelas elit kita dan masyarakat tentang RSBI dan SBI, sepertinya dikarenakan kurangnya visi yang jelas, terbatas pada penggunaan bahasa Inggris sebagai media instruksi di kelas, penggunaan peralatan teknologi yang canggih untuk menunjang pembelajaran, fasilitas modern, dan adopsi kurikulum serta intstrumen penilaian dari negara maju. Dalam artian untuk memfasilitasi dan mempercepat proses kegiatan belajar-mengajar, kita tentu saja memerlukan hal-hal tersebut.
Meski demikian, apa yang gagal kita pahami adalah bahwa beberapa faktor pendukung tersebut adalah produk determinasi kultural – yang mungkin secara ekologis tidak cocok dengan lingkungan kita – daripada produk hasil ciptaan kita sendiri. Pendidikan secara umum dan sekolah secara khusus tidak boleh berada di dalam kehampaan social, karena keberadaan mereka membentuk dan dibentuk oleh masyarakat dimana mereka berada. Sebagai penyeimbang kemungkinan pengaruh negatif sekolah berlabel internasional yang berjalan di lingkungan local, kita perlu menempatkan sekolah-sekolah ini dalam lingkungan sosial yang lebih luas, yang membantu menyediakan kerangka kerja yang bermanfaat dimana berbagai praktek pendidikan dapat dinilai.

Sumber: The Jakarta Post