Selasa, 02 September 2008

Laskar Pelangi

Judul: Laskar Pelangi
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: Bentang
Tebal: 534 halaman
Cetakan ke-18
Februari, 2008

Laskar Pelangi adalah sebutan bagi murid sekolah Muhammadiyah di Belitong yang hanya berjumlah 10 orang. Walaupun setiap orang memiliki keistimewaan yang berbeda namun mereka diikat oleh satu hal yang sama: kemiskinan Melayu pesisir.

Tokoh utama dalam novel ini adalah salah seorang anggota Laskar Pelangi yang bernama Ikal. Dialah yang bercerita kepada kita awal mula pertemanan mereka di sekolah Muhammadiyah yang hampir rubuh. Di sekolah tersebut mereka mendapatkan bimbingan dari seorang guru yang sangat sabar yaitu Ibu Muslimah.

Di tangan Ibu Muslimah anak-anak Laskar Pelangi ini mampu mengalahkan sebuah sekolah paling elit di Belitong, Sekolah PN Timah, dalam dua event prestisius yaitu Karnaval 17 Agustus dan Lomba Kecerdasan. Pada acara Karnaval 17 Agustus sekolah Muhammadiyah dipimpin oleh salah seorang anggota Laskar Pelangi yang bernama Mahar sedangkan keberhasilan Lomba Kecerdasan tidak terlepas dari peran salah seorang anggota laskar yang lain yaitu Lintang.

Dua belas tahun kemudian mereka bertemu kembali. Ikal mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah di luar negeri, Akiong menikah dengan Sahara dan membuka toko dibantu oleh sahabat mereka Samson, Trapani di rawat di rumah sakit jiwa, Lintang menjadi supir truk, dan ... sisanya dapat Anda baca sendiri.

Saya suka novel ini karena beberapa hal. Pertama, Andrea bercerita dengan sangat fasih dalam bahasa sains yang mudah dicerna. Coba perhatikan bagaimana dia menyebutkan beberapa species bunga yang tumbuh di halaman sekolah Muhammadiyah dengan menggunakan binomial system-nya Carolous Linnaeus secara tepat, atau saat Lintang mendebat Drs. Zulfikar mengenai Cincin Newton, ah... tak mungkin dia membuat saya menikmati bacaannya kalau bukan hasil pemahamannya yang dalam tentang semua yang dia tulis.

Hal kedua yang saya sukai dari Laskar Pelangi adalah humor yang cerdas, bahkan kadang-kadang getir. Di halaman 19 dan 20 misalnya, di sana dikatakan bahwa dinding kelas yang dihuni Ikal dan kawan-kawan tidak pernah ditempeli poster apapun kecuali seorang pria berjenggot dengan tulisan: RHOMA IRAMA, HUJAN DUIT! Wakakaka... membayangkan suasana kelas seperti itu saya bisa merasakan kejenakaan Andrea, sumpah.

Contoh lain, sewaktu Mahar dan Flo menghadap Tuk Bayan Tula dengan mengarungi lautan yang ganas dan dicekam ketakutan yang amat sangat akhirnya mereka mendapatkan pertolongan dari Tuk Bayan Tula untuk kelulusan mereka dalam selembar kertas yang harus mereka turuti perintahnya: "KALAU INGIN LULUS UJIAN: BUKA BUKU, BELAJAR!". Dan... Mahar dan Flo pun bagai kerbau dicocok hidung mengikuti perintah keramat dari Sang Datuk.

Ada satu lagi, sewaktu Ikal bermaksud membuat tulisan mengenai bulu tangkis dia sudah membayangkan komentar dari Ivan Lie: "Saya ingin memeluk penulisnya". Wakakaka.... coba deh baca sendiri.

Tapi meskipun demikian ada harapan saya yang tidak terpenuhi dari novel ini. Ketika membaca halaman pertama saya mendapat gambaran kesulitan hidup orang Melayu pesisir, harapan saya sih ending ceritanya bahagia, artinya semua kesulitan itu dibayar dengan kebahagiaan hidup. Tapi ternyata Andrea lebih memilih penyelesaian dengan cara yang datar, nasib manusia itu ada yang baik ada juga yang jelek. Yah... mungkin inilah konsekuensi dari novel realis.

Sekali lagi saya suka banget novel ini karena bisa menangis, tertawa, merenung, dan menyerap semangat untuk berkarya pada saat yang bersamaan. Bravo Andrea!

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Selamat Mas Isma, maaf saya kira Ibu Isma hehehe. Salam kenal dari Sopyan. www.sopyanmk.wordpress.com

Isma Mohammad Shaff mengatakan...

Makasih sudah mampir, boleh saya add alamatnya ya?